Memangnya mitos itu hanya punya putri raja , pangeran, ataupun dongeng tentang rakyat lainnya, sebenarnya kalau mau mengamati teryata dokter itu juga punya mitos yang mau tidak mau berpengaruh dalam pekerjaanya…
Dalam beberapa minggu ini banyak baca di media sosial tentang status teman-teman dokter di Indonesia, baik itu berupa curhat, kabar gembira, masalah pribadi, narsis di suatu tempat ataupun kegiatan, membuat opini tentang berita, ada yang berbagi pengetahuan, dan lain-lain banyak lagi. Dari sini jadi bertanya dalam hati apakah benar semua orang benar-benar tau tentang dokter, mungkin hanya sebagian tau karena berhubungan langsung sebagai istri, suami ,anak, saudara ataupun kerabat. Bagaimana sebagian lagi, yang hanya berhubungan sebagai pasien, mungkin mereka hanya tau posisi dokter atau seorang dokter yaitu dari pengalaman pribadi perkasus, dari rumor, bahkan dari mitos dulunya dimana mitos bisa saja benar atau tidaknya.
Mengapa membicarakan mitos???….karena membicarakan pengalaman pribadi perkasus dan rumor, itu sifatnya bisa hanya sementara, tapi untuk mitos berarti hal yang sudah lama, dan untuk itu tidak ada salahnya untuk dibahas lebih.
Sebenarnya cukup banyak mitos tentang dokter, karena saran dari teman saya yang tadi bilang agar sedikitnya saya perduli, maka saya bahas 3 mitos dokter yang sudah banyak orang tau, tapi saya berharap setidaknya bisa cukup memebantu mengenal dokter.
Mitos Seorang dokter
Mitos Dokter tidak dilihat dari posturnya
Kenapa saya membahas yang pertama masalah postur tinggi tubuh, karena ternyata setelah saya tanya banyak sekali yang tidak tau hubungan postur dengan pekerjaan dokter, postur tubuh berpengaruh juga pada pekerjaan dokter, terutama dokter yang melakukan tindakan operasi. Mitos ini bisa benar dan bisa dibilang juga mitos ini kurang tepat:
Mitos ini benar… Seorang dokter tidak harus tinggi, dan benar memang ada seorang dokter bernama Michael Ain, seorang ahli bedah ortopedi pediatrik di Johns Hopkins Children Center adalah seorang dwarfisme (seseorang yang kekurangan pertumbuhan badannya), hanya saja jika postur tinggi tubuh dokter itu sesuai maka akan lebih menguntungkan dalam melakukan suatu tindakan operasi dan sudut gerak dalam operasi, juga dalam menyesuaikan keadaan alat operasi.
Tapi Ada cerita dokter wanita yang tubuhnya kecil dalam melakukan tidakan pada orang yang tersedak (choking), kebetulan seorang bapak yang gendut tinggi besar di suatu pesta di kampung tiba-tiba tersedak makanan sehingga menutup total jalan nafas (total blockage/severe) , sebagai dokter yang kebetulan ada di situ, maka sudah jadi kewajibannya untuk menolong, karena hanya dokter itu pastinya yang mengerti, sedangkan yang lainnya tidak ada yang mengerti apa yang harus diperbuat, maka berusahalah ia melakukan tindakan setakan “chest thrust” sekuat tenaga beberapa kali sampai berpeluh. Pada saat mengerjakannya ia berdoa dalam hati agar Allah membuat badanya terasa besar dan kuat serta terus berdoa dalam hati hingga hampir mau menagis. Ahamdulillah pasien tertolong… Jadi ternyata postur tubuh memang berperan juga dalam suatu tindakan, dan yang saya garis bawahi dari cerita ini adalah dalam keadaan apapun dokter itu harus siap membantu karena hubungan dengan sumpahnya.
Mitos Dokter yang sudah tua manjur
Mitos ini juga bisa benar, karena makin berumur seorang dokter maka makin banyak pengalaman menganai pasien, maka akan lebih banyak yang diketahui dan akan lebih terlatih untuk melakukan tindakan atau jeli dalam mendiangnosis. Hanya mungkin cerita pribadi saya bisa lebih menggambarkan, jadi ada pertimbangan lain apakah dokter tua manjur.
Cerita tentang pengalaman… saya yang kebetulan kata orang waktu baru lulus dokter berwajah kayak anak ABG (itu kata orang loh, bukan kata saya). PTT-lah saya di tempat yang sangat terpencil di daerah Garut, jangan salah ternyata saat itu Garut ada daerah yang sangat terpencil, dan setelah saya datangi memang cukup sangat terpencil… tapi karena dengan melewati hamparan pegunungan dengan tanaman teh yang sangat indah, jadi kata sangat tepencil sebetulnya bisa di bilang “cukup sangat terpencil“.
Pertama sekali saya praktek… datanglah nenek-nenek dan melihat saya kemudian berkata dengan bahasa sunda halus yang kira-kira artinya neng ada dokternya, saya yang hanya sedikit tau bahasa sunda menjawab “saya nek dokternya”. Dengan muka agak heran campur tidak percaya ia berkata lagi kira-kira katanya “ah neng masa”. Jadi… mana baru pertama kali tugas daerah terpencil, yang kebetulan pasienya seorang nenek yang tidak percaya bahwa saya seorang dokter, huff… wal hasil kira-kira 15 menit panjang lebar berdebat dan menjelaskan dengan sang nenek, yang entah nyambung atau tidak, karena mungkin yang satu pakai bahasa Indonesia Jakarta, dan yang satunya lagi bahasa Sunda halus…. Tapi akhirnya terselamatkan dengan anaknya nenek yang menyusul masuk, menjelaskan keaslian dokter yang baru datang (alias saya), hanya saja yang buat saya kaget yaitu sang nenek langsung bilang (masih pakai bahasa Sunda halus) yang artinya kira-kira “wah saya maunya dokter yang tua aja kalau dokternya masih anak-anak nggak mau ah takut nanti nggak sembuh”…. Waduuuuuuh terpaksa menerawang sambil berpikir seandainya ada operasi wajah tua….
Tapi pasien berikutnya , Alhamdulillah berjalan sangat mulus dan lancar, dan hari-hari berikutnya juga berjalan baik menangani pasien dengan kasus yang cukup beragam, semuanya Alhamdulillah tidak terlalu berat. Pas seminggu dari awal saya praktek…Sang nenek yang dulu pernah datang , datang kembali dengan muka agak meringis kesakitan, hanya saja kali ini anaknya langsung ikutan, dan sang anak mengatakan keluhan ibunya, bahwa waktu itu ibunya ada sariawan, karena ketemu dokter masih keliatan muda akhirnya tidak jadi berobat, katanya nanti akan sembuh sendiri, tapi setelah seminggu sariawannya malah tambah banyak, sampai untuk makan aja susah. Yang lebih dramatisirnya lagi…..saat itu persediaan masker lagi tidak ada, biasanya saya mengantonginya di jas, tapi jas yang saya pakai ternyata baru di cuci, jadi pasti tidak ada masker bekas di kantong jas. Maka tanpa masker saya harus rela pasrah memeriksa mulut sang nenek yang sudah saya perkirakan baunya, sambil menahan bau dan memegang senter saya dapatkan ternyata hampir separuh rongga mulut terkena sariawan (stomatitis) , pantas saja untuk makan sulit.
Empat hari berturut-turut sang nenek datang ke tempat praktek, saya sendiri langsung berikan obat ke rongga mulutnya dan membersihkan rongga mulut (kali ini saya selalu pakai masker juga sarung tangan tentunya), pastinya setiap datang saya tidak bosan untuk selalu mengingatkan nenek dan anaknya, agar nenek minum obat, dan memberikan obat serta membersihkan rongga mulut sesuai dengan cara yang saya ajarkan.
Hari ke lima yang tadinya nenek hanya sedikit bicara bahkan kadang diam seribu bahasa, baru masuk ke tempat praktek bersuara nyaring dan menyeringai kira-kira seperti ini katanya “Hatur nuhun neng dokter ,terima kasih banyak sekali neng dokter, maapin nenek karena setau nenek dokter yang manjur itu dokter tua, malah si neng dokter ternyata baik, mulut nenek sampe di bersihin tiap hari segala, terima kasih, ini ada labu siam panenan nenek buat neng dokter, ayuh atuh ke rumah makan nanti nenek sediaain makan” . Perlu diinfokan mengenai panenan labu siam yang di bawa nenek….Saat saya mau pulang, ada satu karung labu siam berat kira 50 kg nangring di atas sepeda motor saya,…aduh nek terima kasih banyak sekali panenanya… karena saat itu juga saya berpikir keras untuk membuka kios sayur agar labu tidak busuk sia-sia hehehe… tapi untungnya sang labu tidak jadi busuk karena ada banyak saudara berkunjung pulang membawa oleh-oleh labu siam dari desa (Garut maksudnya)
Mitos Jadi Dokter bisa kaya
Membahas hal ini sebenarnya sangatlah rawan, apalagi dengan situasi saat ini. Tapi pendapat saya pribadi begini, tolong adakan survei berapa banyak lulusan dokter yang kaya dari penghasilannya sebagai dokter, tapi… dari pengamatan pribadi dengan sample teman-taman saya yang ada, untuk yang kaya hasil dari dokternya tidak sampai sepertiga, itupun kaya disini bukan berarti kaya raya seperti kasus koruptor yang berita, tapi saya kira hanya sedikit berlebih saja dan sesuai dengan tenaga serta ke ahilanya yang di kerjakan (dokter sepesialis bedah salah satu contohnya). Jadi kesimpulannya menurut saya jadi dokter bisa berkecukupan, ataupun sedikit lebih, bahkan bisa juga hanya banyak pengabdian karena memang sudah konsekuensi sumpah jabatan kami.
Sebenarnya banyak cerita tentang ini, tapi baiknya saya hanya bertanya saja untuk bisa menggambaran tentang dokter (apakan benar jadi dokter bisa kaya), Saya ambil contohnya dokter yang sering kita temui , yaitu teman-teman saya yang di UGD rela untuk meninggalkan keluarganya di rumah untuk mencari nafkah dan juga tanggung jawab atas ilmu yang di pelajarinya. Coba hitung berapa banyak dokter UGD yang kaya dari kerja dokternya, sedangkan pekerjaan di UGD sangat berat, sebagai salah satu ujung tombak RS.
Seorang dokter UGD
Taukan anda bahwa biasanya di RS itu ada tiga pergatian jam jaga dokter seharinya (8 jam sehari tiap siftnya pagi, siang, malam), dimana tiap dokter bisa menangani pasien sedikitnya bisa 10 pasien tiap sift atau term-nya, dan ini hampir pada semua RS di Indonesia, pada saat malam hari dokter UGD dituntut mengerjakan pekerjaan yang tingkat ketelitian tinggi dan kecekatan yang cepat. Menurut anda apakah layak manusia saat jam bilogisnya harusnya istrahat, tapi harus terpaksa tidak tidur untuk 8 jam.. (sedang sopir bis antar kota di Moscow hanya bisa membawa kendaraanya 3 jam berturut-turut kemudian istirahat) . Belum lagi tentang keadaan kondisi fisik dan rohani sang dokter saat itu, bisa di bayangkan pilot sebelum terbang harus di tes fisik dan mentalnya untuk keselamatan diriya juga,… kalau dokter-kan akan menyelamatkan pasien bagaimana pemeriksaan fisik dan mentalnya ???
Apakah ada yang tau berapa banyak jumlah dokter di Indonesia saat ini, berapa dokter gigi , dokter umum dan spesialisnya. Mungkin bisa dicari, tapi poin yang saya tanyakan di sini dengan jumlah semua dokter saat ini yang ada dan jumlah rumah sakit di Indonesia saat ini, apakah penduduk Indonesia dari Aceh sampai Irian dapat dilayani semuanya …
Saya tidak akan bertanya lebih jauh masalah mekanisme pelayanan, kelayakanan penempatan tenaga dokter, keadaan faslitas kesehatan yang menunjang, apalagi layak atau tidaknya jasa pelayanan yang diterima oleh dokter … wah… nanti dibilang dokter hanya mau uang (kalau mau jujur dibanding dari beban kerjanya yang ada dengan pendapatan dokter UGD contohnya, sangatlah teramat jauh sekali dari kata sebanding, bahkan bisa dibilang hanya untuk pengabdian… dan apalagi bila dibandingkan dari pendapatan yang pengemis inginkan seperti diberita-berita kemarin). Dimana semuanya juga akan berkaitan dengan pembahasan tentang mitos jadi dokter bisa kaya.
Kalau saya tanya dan bahas hal itu semua jadi akhirnya saya harus buat tim khusus dan hasilnya menjadi buku berseri…. Untuk itu sementara bisa diambil kesimpulan sendiri masing-masing. Jadi dalam hal yang satu ini saya baiknya tidak berpendapat banyak, saya lebih baik hanya sedikit saja bertanya yang setidaknya bisa cukup sebagai penggugah agar masing-masing bisa menggambarkan.
Gambaran dokter secara umum, di luar pembahasa dari mitos dokter , yang pastinya dokter itu juga manusia sama seperti anda dan mereka… hanya saja karena pengatahuan ilmunya dokter dituntut untuk mengabdi demi kesehatan semua, dan saya yakin teman-teman saya punya hati nurani sebagai sesama manusia mahluk Allah SWT….. tapi kalaupun ada suatu yang khilaf, yah… karena dokter itu juga manusia yang tidak luput dari khilaf yang Insyan Allah tidak di sengaja.
Jadi kenapa tidak kita semuanya bersama untuk kebaikan saling membantu dan mengingatkan, memberikan solusi bersama jangan hanya menuntut, juga kita semua bahu-mambahu membantu semua faktor pendukung kesehatan dan membuat sistem yang baik yang menunjang…. agar semua rakyat Indonesia SEHAT ….pasti termasuk dokternya juga ya…